Paid Kaung, Why? or Why not? Konsep Ketuhanan Dalam Agama Hindu Membangun Keluarga yang Bhawantu Sukhinah Impersonal God Kepemimpinan Hindu

07 June 2011

Paid Kaung, Why? or Why not?


      Istilah “paid bangkung” sudah bukan istilah yang asing lagi di telinga umat Hindu etnis Bali. Yaitu sebuah istilah yang umum digunakan untuk menyebutkan seorang lelaki Hindu yang menikah dengan wanita non-Hindu dan kemudian mengikuti agama istrinya. Etimologi “paid bangkung” sendiri berasal dari bahasa Bali, yaitu dari kata “paid” = ditarik dan “bangkung” = babi betina yang dipelihara untuk dibiakkan. Jadi istilah “paid bangkung” selalu dikonotasikan sebagai hal yang negatif. Namun adakah istilah "paid kaung" dalam masyarakat Hindu di Bali?

      Mungkin istilah "paid kaung" ini ada, namun kurang populer jika dibandingkan dengan istilah "paid bangkung". Tetapi tidak dapat dipungkiri, hal ini sering juga terjadi pada wanita-wanita Hindu yang menikah dan mengikuti agama suaminya yang non-Hindu. Memang tidak ada yang salah dengan hal ini karena dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sejalan dengan UU tersebut, Perkawinan beda agama, bagi umat Hindu tidak dibenarkan, karena menurut Manawa Dharmasastra, Buku ke-III (Tritiyo ‘dhyayah) pasal 27 tertulis:

 "ACCHADYA CARCAYITWA CA, SRUTI SILA WATE SWAYAM, AHUYA DANAM KANYAYA, BRAHMA DHARMAH PRAKIRTITAH".

Artinya, seorang wanita yang hendak dikawini oleh seorang lelaki yang beragama Hindu (meyakini kitab suci Weda), hendaklah seorang wanita yang berpendidikan baik (dirias) dan seorang wanita yang taat beragama Hindu (karena ia harus terlebih dahulu mendapat restu orang tua dan disucikan oleh seorang Wiku). Oleh karena itu bila ada beda agama, maka si wanita agar ‘di-Hindu-kan’ dahulu dengan upacara sudhi waddani, yakni mengucapkan kata-kata suci:


"OM I BA SA TA A I OM YA NAMA SIWAYA, OM ANG-UNG-MANG, OM SA BA TA A I OM YA NAMA SIWAYA OM MANG-UNG-ANG, OM AWIGNAM ASTU NAMO SIDHAM."

Ucapkan itu di depan sebuah sanggah surya dengan banten pejati, dan dipimpin oleh wiku atau jero mangku.
      Perkawinan di mana sang suami (Agama Lain) mengikuti agama istri (Hindu) sebenarnya tidak ada masalah, mungkin istilahnya berubah menjadi "maid kaung" ; upacaranya juga dengan Sudhi Waddani yang mendahului upacara perkawinan. Yang jadi masalah jika perkawinan itu berdampak kepada Hukum Waris yang di dalam istilah adat di Bali dinamakan “ngrajeg dalem” atau “nyentana”. Jika ini yang dimaksud maka tindakan hukum ini harus mendapat persetujuan dari semua ahli waris yang berhak, di mana persetujuan atau penolakan harus dilakukan secara tertulis, dan untuk amannya dibuatkan Akta Notaris. Apabila perkawinan itu dilaksanakan tidak dengan maksud ngrajeg dalem harus pula dinyatakan dengan tegas dalam suatu akte agar tidak menyulitkan para ahli waris di kemudian hari. Bila rumah tangga itu nanti akan berdiri sendiri (tanpa ngrajeg dalem dan tanpa masuk warga Dadia) sebaiknya sang suami mengikuti Kawitan istrinya dan membangun Sanggah Kamulan sendiri.
      Kembali ke istilah "paid kaung", wanita Hindu yang menikah dengan pria non-Hindu harus mengikuti agama suaminya. Karena menurut adat-kebiasaan masyarakat Bali, perempuan merupakan ‘pradana’ yang wajib berbakti kepada sang suami selaku ‘purusa’. Oleh karena itu, keluarga si wanita  dapat mengadakan musyawarah untuk mengambil keputusan, misalnya tidak mengakuinya lagi sebagai warga dadia penyungsung Sanggah Pamerajan. Dadia Sanggah Pamerajan dalam adat Bali mempunyai legitimasi sebagai lembaga adat yang boleh mempunyai aturan-aturan tertentu yang mengikat bagi warganya. Anak-anak yang dilahirkan tentu mengikuti keyakinan orang tuanya, kecuali bila kelak dewasa mengambil keputusan sendiri. Bilamana wanita itu resmi masuk agama lain, sebaiknya mepamit dahulu di Sanggah Pamerajan dengan upacara tertentu.
      Kesalahan utama seorang Hindu dalam meminang maupun dipinang seorang  non-Hindu adalah pada pemahaman yang merupakan kebanggaan semu dari penganut Hindu yang menyatakan bahwa “semua agama sama”. Padahal pada kenyataannya tidak satu agamapun yang sama di dunia ini, bahkan dalam satu agamapun acap kali terdapat perbedaan pandangan/aliran. Oleh karena itu, "Tuhan"nya pun berbeda (baca: Sebutan untuk Sang Hyang Widhi http://hawkersrock.blogspot.com/2011/05/sebutan-untuk-sang-hyang-widhi.html). Sebuah survei interfaith menunjukkan bahwa agama yang memiliki toleransi paling tinggi adalah Hindu dan berikutnya diurutan kedua adalah Buddha serta agama-agama Timur lainnya.  Merupakan sebuah kebanggaan sebagai Hindu dimana menduduki peringkat teratas dalam hal toleransi beragama, tapi juga merupakan bumerang bagi mereka yang tidak memahami filsafat Hindu dengan benar.
      Namun hal yang tidak boleh terjadi adalah dimana suami dan istri memiliki agama dan keyakinan yang berbeda. Manava Dharma Sastra 9.96 untuk menjadi ibu/istri maka wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah/swami maka lelaki diciptakan, keduanya diciptakan untuk menyelenggarakan upacara agama”, sudah sangat tegas mengatakan bahwa suami dan istri harus saling bahu membahu melaksanakan yajna (upacara agama). Ini biasanya terjadi untuk meredam masalah dimana pihak suami atau istri sama-sama bersikukuh untuk mempertahankan agamanya. Namun biasanya yang pada akhirnya kalah adalah pihak Hindu, sering kali anak-anak mereka dididik dengan agama yang non-Hindu. Faktor utama penyebab ini sudah barang tentu karena Hindu sebagai minoritas di Indonesia tidak memiliki sistem pendidikan yang baik. Dan faktor lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah karena sebagian besar orang Hindu tidak memahami ajarannya dengan baik dan tidak dibekali dengan pemahaman akan ajaran agama yang lain. 
    Kesalahan terbesar orang Hindu, terutama Hindu etnis Bali diluar ketidakmampuan mensinergikan antara filsafat dan upacara (ritual) adalah karena orang Hindu tidak pernah mau belajar dari sejarah. Kerajaan Majapahit runtuh karena Raja Brawijaya V tidak mampu bertindak sebagai seorang suami yang benar, dia tidak mampu mengendalikan dan mendidik istrinya yang muslim sehingga anak kandung dari istrinya itulah yang pada akhirnya menjadi penyebab kehancurannya dan kerajaannya. Kerajaan badung-pun hampir hancur dengan cara seperti ini, namun “untung” belanda datang menjajah sehingga Hindu di Bali belum sempat hancur seperti halnya Hindu di Jawa.
     Cinta seba­gaimana kehidupan, selalu ber­gerak dan meng­alir ber­sama kehidupan, ia tak bisa dijerat dalam sekum­pulan tulisan dan ide sehingga tetap ber­tahan demikian selama-lamanya. Dan untuk meng­amati gerak kehidupan ini, Anda perlu keheningan – kesadaran yang hening, bukan kesadaran yang penuh dengan teori. Dan hanya kesadaran yang hening bisa memiliki kejer­nihan yang cukup tajam untuk mem­bedah kehidupan ini. Mem­bangun keluarga adalah bagian dari kehidupan. Mem­bangun keluarga dengan bijak­sana sesuai dengan budaya dan masyarakat adalah hal yang baik, namun mem­bangun keluarga dengan kesadaran yang penuh, adalah yang ter­baik yang dapat kita berikan. 
    Jatuh cinta dan menikah dengan lawan jenis yang berbeda agama tidaklah masalah, karena grahasta / vivaha adalah jenjang yang harus dilewati oleh setiap orang yang menjalankan catur ashrama secara normal. Namun untuk melaksanakan pernikahan yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dharma dan tidak juga menyebabkan kita tergerus keluar dari ajaran yang sudah tepat, maka setiap pemuda-pemudi Hindu harus memiliki bekal filsafat Hindu yang benar dan juga memahami ajaran agama yang lain dengan baik. Sehingga apapun argumen memojokkan dari agama lain dapat kita tangkis dan bahkan dibalikkan kembali untuk memperlihatkan kekeliruan mereka.

    Hidup adalah pilihan, dan semua yang telah dipilih memiliki konsekuensinya masing-masing yang menjadi tanggung jawab dari tiap-tiap orang. Pilihan akan menjadi sebuah dilema jika tidak mampu mempertimbangkan konsekuensi dari pilihan tersebut dan tidak bisa membuat suatu keputusan yang pasti.

4 comments :

  1. jadi kesimpulannya, pindah agama diperbolehkan (dibenarkan/sah-sah saja) menurut ajaran Hindu ya? ~yang saya maksud menurut ajaran filsafat Hindu asli, terlepas dari adat Bali dan konsekuensi sosial di masyarakat.

    ReplyDelete
  2. Kalo menurut filsafat Hindu, tidak ada namanya pindah agama. Coba aja pikir, Hindu adalah agama yang pertama, Weda sudah ada sebelum agama2 lain ada, trus ga mungkin dong dalam Weda dibilang boleh ato tidaknya pindah agama, emang mau pindah ke agama mana, kan belum ada agama lain selain agama Hindu.
    Trus kenapa di artikel ini dikatakan "Bilamana wanita itu resmi masuk agama lain, sebaiknya mepamit dahulu di Sanggah Pamerajan dengan upacara tertentu". Ini bisa dibilang sebuah "fasilitas" (mungkin istilahnya kurang tepat) yang diberikan untuk umat Hindu supaya tidak durhaka kepada leluhur.
    Keyakinan dan kepercayaan bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Meskipun anda dilahirkan dalam keluarga Hindu, kalau anda tidak yakin dan tidak percaya, ya lebih baik tidak perlu dipaksakan. Demikian juga sebaliknya.
    Agama Hindu memberikan jalan kebenaran kepada umatnya untuk mencapai tujuan hidup, bukan memberikan iming2 masuk surga untuk memuaskan hasatnya dengan bidadari2 khayangan.
    Jadi beruntunglah anda dilahirkan dalam keluarga Hindu.
    Terima kasih. :)

    ReplyDelete
  3. Artikelnya bagus dan sangat penting untuk diketahui utamanya pada generasi Muda Hindu, baik yang di Bali ataupun di luar Bali. Semoga kita dapat melihat perkembangan Hindu dalam 100 tahun kedepan. Agama terkadang membuat orang baik, keras ataupun tidak baik dimata manusia/pemeluknya, namun dalam keheningan hati yang paling dalam bahwa Agama Hindu paling memanusiakan manusia, mensejajarkan segalanya adalah ciptaan-NYA, segala yang ada adalah harus dimuliakan, dan dibantu untuk dapat menuju Moksha. Kita yang Hindu sudah mendekati kesempurnaan Hidup, kesempurnaan spiritual untuk segera bisa menyatu dengan Brahman .... (apapun resikonya) yakin dan percayalah pada Agama Hindu kita ....

    ReplyDelete